Disampaikan oleh : Dedi Mulyadi (Bupati Purwakarta)
Tasikmalaya, 25 Juni 2013
Agama, Simbolisasi dan Trasendensi
Pada hari ini, kita sering dihadapkan pada sebuah tesis-tesis berfikir agama. Ada yang menyebut sekulerisasi ada yang menyebut dengan islam kaffah. Tesis itu terus berputar – putar dengan berbagai macam persepsi dan sudut pandang masing-masing dan melahirkan berbagai ciri dan symbol. Ada yang menyebut Islam kaffah adalah Islam yang secara paripurna mengikuti kanjeng Rasulullah SAW secara total dari mulai cara tidur, cara makan, cara berpakaian, jenis pakaian, makanan yang dimakan, bahasa yang diucapkan, tata karmanya, memelihara jenggotnya dan symbol-simbol kebudayaannya.
Tesis itu luar biasa, menggema seolah-olah kalau tidak mengikuti seluruh nilai dan tradisi kebudayaannya bukanlah Islam. Maka dalam pandangan saya beruntunglah orang yang lahir di Arab Karena dia akan secara total bisa seperti Kandjeng Nabi. Makanannya sunah nabi, bisa sholat tiap saat di Masjidil Haram tanpa harus memikirkan biaya, cara pakai gamisnya bisa persis seperti Kandjeng Nabi, semuanya dari A sd Z nya bisa seperti Kandjeng Nabi. Tapi betapa Karunyanya Mang Udin anu ti Kampung Naga tidak bisa persis seperti Kandjeng Nabi, karena Mang Udin setiap hari berprofesi jadi tukang macul. Ketika dia berprofesi sebagai tukang macul, maka maculnya, nyangkulnya tidak bisa jadi ibadah pada Allah. Karena apa ? Mang Udin tidak bisa menggunakan gamis putih untuk mencangkul di sawah karena cepet kotor dia lebih sering pakai kampret hitam. Kasian juga para pegawai negri, ketika pergi ke kantor tidak bisa pakai gamis. Kasian tukang ojek, karunya tentara, kasian orang yang profesinya seperti tukang becak, mereka semua tidak bisa mengikuti sunnah karena tidak bisa berpakaian seperti kandjeng nabi. Maka saya orang pertama yang akan kirim surat kepada Allah, “Ya Allah, kenapa aku dilahirkan di Purwakarta, sehingga aku tidak bisa secara total mengikuti Kandjeng Nabi dan saya tidak bisa menjalankan syariat Isam secara Kaffah”.
Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dalam hamparan tanah, air, udara, matahari di berbagai tempat sehingga melahirkan tradisi yang berbeda-beda sesuai dengan kulturnya. Kultur itu adalah kultur tanah, kultur air, kultur udara, dan kultur matahari. Dan kemudian saya sampaikan dengan beberapa kalimat cirri sabumi cara sadesa jawadah tutung biritna sacarana sacarana lain tepak sejen igel. Kesunahan nabi bukanlah terletak pada pakaiannya, karena pakaiannya adalah simbol kebudayaan bangsanya, Itu tradisi yang dibangun dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Tidak mungkin saya pakai gamis dalam setiap hari. Tidak mungkin itu saya lakukan. Itu tidak masuk dalam tradisi kesunahan. Karena sunah disana berbeda dengan sunah disini.
Tetapi yang paling penting adalah nilai, sehingga saya banyak melihat justru ada sekulerisasi yang terjadi yang kaffah itu malah terpuruk hanya pada nilai yang sifat-sifatnya ritual. Tidak pada sifat-sifat sosial. Menurut saya kekaffahan itu adalah ketika perilaku seorang pemimpin negara kalau mau menyunahi Rasulullah dan masuk dalam kaidah syariat islam adalah ketika seluruh rakyatnya tidak ada lagi yang menangis karena tidak ada beras, ketika seluruh rakyatnya dijamin pendidikannya, kesehatannya, seluruh jalannya tertata dengan baik, rumah-rumah rakyatnya yang miskin dan jompo tertata dengan baik, belanja APBD nya efisien dan tepat sasaran itulah sunah Rasul yang sebenarnya. Bukan pada simbolisasi, bukan pakaian gamisnya, bukan pada Asma’ul Husna yang ditulis dipinggir-pinggir jalan protokol. Karena pemahaman saya agama itu bukan untuk disimbolisasikan, tetapi agama itu adalah transendensi. Agama itu bukan symbol kekuasaan. Tetapi agama itu adalah esensi penghambaan.
Kalau agama kita pandang sebagai symbol kekuasaan, maka agama akan muncul 5 tahun sekali. Ketika menjelang Pilkada dan Pemilu lainnya disanalah agama akan menjadi luar biasa. Doktrin-doktrin agama berkembang, kalimat-kalimat berbasis ayat-ayat Al Qur’an bertebaran di baligho dan spanduk dan di forum-forum pertemuan dan orang-orang berteriak ‘ saya berpolitik atas nama Allah. La’illaha illalah’ . Ketika itu terjadi, ketika ada pengingkaran terhadap apa yang mereka ucapkan maka agama rusak dan hancur oleh orang-orang yang berteriak Allahu Akbar dalam setiap saat, tetapi Allahu Akbar nya itu tidak tertransendensi dalam kebijakan-kebijakannya. Maka disitu, Tuhan dihinakan. Maka disitu, Tuhan dicampakan, Maka disitu agama dinistakan. Sebenarnya orang yang menggunakan symbol agama untuk politiknya tetapi tidak membuktikannya kepada rakyat sebagai nilai-nilai yang adil dan ma’rifat. Maka sebenarnya orang itu wajib diperiksa sebagai orang yang menistakan agama.
Karena itulah maka biarkan kita berkembang dalam wilayah kebudayaan kita. Bagi saya, sorak ibra boboyongan dari Cinunuk Garut itu adalah Islam. Karena keseniian itu yang menciptakannya kyai yang memiliki nilai-nilai transendensi. Lihatlah seluruh langkahnya, bukankah seluruh langkahnya, langkah berjamaah? Kalau berjamaah diwajibkan dan nilainya 27 derajat, maka dapat kita lihat bagaimana para seniman sorak ibra itu berjamaah mereka mengangkat satu orang, dilempar keatas dan kemudian ditahan secara bersama-sama, nilainya sangat tinggi. Bukankah dia mengajarkan ajaran berjamaah? Kebersamaan inilah yang tertransendensi setiap saat, membangun rumah rakyat miskin secara berjamaah, menyelesaikan konflik- konflik sosial di masyarakat secara berjamaah. Kalau bicara berjamaah, tidak usah teriak-teriak mengenai jamaah. Orang Indonesia, sudah berjamaah sejak lama. Walaupun tidak ada organisasi berjamaah pada waktu itu. Orang Indonesia sudah ada nilai persatuan yang dibangun dalam sebuah piranti kebudayaan. Yang membangun pemerintahan dengan kulturnya. Yang membangun piranti ekonomi dengan kulturnya. Sekarang ironis justru dengan munculnya organisasi-organisasi baru yang modern dan terstrukutur malah berjamnaahnya menjadi hilang. Yang ada adalah sibuk berorganisasi berbeda antara berorganisasi dengan berjamaah. Organisasi bisa mengalami perpecahan. Tetapi jamaah, tidak pernah mengalami perpecahan. Inilah transendensi Inilah Islam yang harus terus dibangun.
Bubat, Karbala dan Martabat Manusia
Kita bisa menitikkan air mata ketika kita mengenang peristiwa Bubat dan tidak bermaksud menggugat pristiwa Perang Bubat itu peristiwa masa lalu, sejarah. Tetapi apa sebenarnya yang terjadi disitu, apa yang ingin saya dapatkan disitu. Kalau para Ahlul Bait mengenal peristiwa karbala, maka sunda mengenal peristiwa Bubat. Peristiwa bubat, bukan persoalan pernikahan, pertikaian dan pembunuhan. Tetapi ada nilai luar biasa disitu, seorang perempuan sunda yang bernama Dyah Pitaloka dengan gelar Citra Resmi rela mengorbankan dirinya untuk menjaga sebuah kehormatan negara dan bangsanya dari pada dirinya menjadi symbol penyerahan, symbol upeti, symbol hadiah kepada Majapahit. Dia ingin mempertahankan harkat martabat seorang perempuan sunda. Bukankah itu nilai – nilai luhur yang luar biasa? Apakah anda hari ini tidak dibuat sedih dan menangis? ketika puluhan wanita menjadi upeti? Ketika puluhan wanita ditayangkan di teleivisi menjadi hadiah untuk kepentingan kekuasaan dan ekonomi? Ketika wanita menjadi hadiah, seharusnya organisasi wanita bergerak marah, demonstrasi. Karena apa ? karena itu merupakan simbolisasi penghinaan terhadap wanita. Ini harganya 10 juta untuk proyek itu , itu 15 Juta untuk proyek ini dan lain-lain, luar biasa semua penghinaan kebudayaan tetapi kita menertawakannya, menontonya dengan riang seolah-olah itu adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Semua orang terdiam, tidak mengerti apa-apa. Ini adalah tanda-tanda kehancuran nilai.
Mana emansipasi yang didengungkan selama ini? Kenapa tidak menyentuh pada piranti-piranti seperti ini ? nah kalau sudah seperti itu maka Negara bertanggungjawab. Maka saya katakan membangun Negara bukan hanya membangun jalan dan infrastruktur lainnya karena hal itu tidak cukup mengantarkan rakyat kepada kemakmuran? Kenapa kalau piranti kebudayaan masyarakatnya tidak dirubah maka dengan jalan bagus anak-anak akan menjadi konsumeris. Merka ingin mempunyai kendaraan bermotor pada usainya sebelum 17 tahun. Dengan jalan bagus maka harga tanah meningkat, dengan jalan bagus, maka orang-orang berlomba membeli mobil dan menjual tanahnya. Sehingga suatu saat akan terjadi kalau di seluruh Purwakarta dibangun jalannya rapi selama 5 tahun kedepan, maka hak kepemilikan tanah akan berpindah dari orang-orang perdesaan ke orang kota yang memiliki banyak uang. Jangan berpikir itu menjadi symbol kemajuan.
Sebagai Bupati saya berkewajiban memenuhi tuntutan bahwa infrastruktur publik adalah bagian dari mendorong daya saing. Tetapi daya saing itu, bagi mereka yang ingin bersaing. Bagi mereka yang kalah bersaing, maka mereka akan hancur dengan perubahan pembangunan. Silahkan dicek, keberbagai daerah banyak yang infrastrukturnya dibangun, rakyatnya berubah menjadi konsumeris karena tidak diimbangi dengan pembangunan nilai dan mental masyarakatnya.
Bahkan kalau bicara ketauhidan ketika jalan jelek mereka lebih dekat dengan Allah. Ketika jalan jelek ketemu lubang ‘Subhanallah’ , ‘Alhamdulillah’ ‘ Allahu Akbar’. Luar biasa terpikir terus tapi ketika jalan bagus, ‘Bissmillah’ lupa, di kampung jadi banyak yang tabrakan dan meninggal, masuk sungai, balapan, segala macam. Kenapa ? ternyata piranti kebudayaan kita sudah porak poranda. Kenapa piranti kebudayaan porak poranda karena Negara tidak adaptif terhadap nilai kebudayaan. Kenapa Negara tidak adaptif terhadap nilai kebudayaan? Karena Negara mempunyai pikirannya sendiri, rakyatnya punya pikirannya sendiri. Dalam kosmologi kebudayaan semestinya hukum Indonesia dibangun dengan nlai-nilai kebudayaan. Dalam pandangan saya kalau di Kampung Naga sudah tidak perlu ada RT/ RW, cukup dengan kepala suku yang ada disitu. Untuk apa dibikin RT dan RW . Menurut saya desa-desa yang piranti kebudayaannya kuat, tidak usah ada pemilihan kepala desa, cukup oleh pemimpin adatnya maka selesailah seluruh persoalan. Pemimpin adat merangkap sebagai kepala pemerintahan lebih efektif. Dibanding kalau ada kampung adat, ada pemimpin adat, ada RT , ada RW, maka RT RW – nya tidak berpengaruh sama sekali, kalah pengaruhnya oleh pemimpin adat ini kan ironis. Tetapi ketika berbicara adat maka ada dua hukum ada keturunan dan ada tuturunan Aya turunan, aya katurunan, Lamun turunan tina anak 9 bisa aya 9 budakna tapi nu katurunan mah, bisa hiji, bisa dua, bisa euweuh. Katurunan bisa disebut Transendensi kalau kata orang sunda mah ‘nitis’ , ‘katitisan’ Saha anu katitisannana Eta nu paling penting nu kudu dituturkeun. Da teu kabeh jelema katitisan, Siapa yang katitisan ? nya eta anu wening ati Leah manah, mi indung ka waktu mii bapa ka jaman, anu cirri sabumi cara sadesa, jawadah tutung biritna, sacarana sacarana lain tepak sejen igel, anu sidik, anu amanah anu tableg anu patonah,anu eta nu bakal katitisan mah. Lamun euweuh sipat eta, moal katitisan sanajan manehna turunan.
Orang beragama sekarang lebih terkesan seperti berorganisasi, kalau agama sudah lebih bersifat organisasi maka saya lebih senang menggunakan istilah wahyu. Wahyu itu nilai karena itu melahirkan tafsir. Tafsir itu melahirkan kelompok-keompok yang mengikuti para penafsir tapi nilainya bersifat universal. Karena nilainya bersifat universal, maka nilai ini tidak terikat pada ruang gerak dan waktu. Nilai wahyu ini hanya akan masuk pada orang yang bersih hatinya yang lapang dadanya. Karena ini masih bersifat transendensi maka orang yang mengikuti wahyu itu adalah orang yang setiap hari dibimbing, orang yang setiap hari dibimbing itu orang yang mana, Orang yang setiap hari puasa, Kalo kata orang sunda Tapa Brata, itu adalah mereka yang menjaga ucapannya, menjaga perbuatannya, maka masuk dalam kalimat, panona dijaga kuawasna, irungna dijaga ku angseuna, ceuli na dijaga ku danguna, letahna dijaga ku ucapna, hatena dijaga ku ihklasna, orang Jawa bilang ” Papat kalima tunggal, papat kalima pancer, atau biasa disebut Insan Kamil. Maka insan kamil tidak mengenal golongan tidak ada organisasi insan kamil. Karna itu maka wahyu transenden, Karena transenden maka melahirkan kebudayaan.
Dari budaya itu lahir keberadaban, Jadi masyarakat beradab itu adalah masyarakat yang sudah hidup dan kehidupannya terbangun oleh kebudayaan yang didalamnya masuk atau tertransendensi, nitis, nyurup nilai-nilai kewahyuan, nilai-nilai Illahiah. Nah kebanyakan yang diributkan di kita bukan nilai tetapi tata cara. Ari cara ulah ngelehkeun eusi, Yang diperebutkan di kita ini adalah tata cara, Akhirnya leungit ciri tinggal cara Nu aya kari bugangna itulah yang menyebabkan Allah pergi dari kita. Rasulullah sudah pergi dari kumpulan kita. Yang ada hanyalah kumpulan orang-orang yang berdebat tak berujung, karena perdebatannya sudah dilandasi oleh kepentingan dan hawa nafsunya. Tuhan akan lari dari ucapan Al-Quran sekalipun, kalau Quran itu sudah diniatkan untuk kepentingan dan permusuhan. Ceuk urang sunda mah ‘geus leungiteun uyahna’ , ceuk kolotna, ‘leungiteun dangiang na’. Ceuk papatah sunda mah nu kieu teh kawung mawur carulukna, samak leungiteun pandanna, ciamis tinggal paitna, ciherang tinggal kiruhna, resi leungiteun ajina, panditahilang komara, kaduruk ku hawa nafsuna, tah ieu.
Untuk itu Negara bertugas membangun nilai sehingga bagi saya sebagai penyelenggara Negara pada hari ini membangun itu adalah menerapkan nilai, karena menerapkan nilai maka harus dimulai dari sekolah untuk membangun peradaban, karna anak-anak sekarang seperti sudah hilang adabnya. Nongkrong , motor-motoran an gak jelas. Kenapa ? nilainya yang sudah hilang.
Pembangunan merupakan proses transendensi keimanan negara karena apa karena negara harus tunduk pada qada dan qodar harus tunduk pada ukuran dan takaran. Misalnya dinas Bina Marga yang tugasnya mengalirkan aliran air sesungguhnya salah satu tugas negara misalnya mengalirkan air itu mencoba untuk mentransendensi qada dan qadar. Qada dan qadar itu adalah ukuran dan takaran Ukuran dan takarannya adalah setiap dataran yang lebih tinggi harus turun pada dataran yang lebih rendah. Ketika ada sumbatan maka sumbatan ini menentang takdir Allah. Karena menentang takdir Allah maka dia tidak islami. Walaupun dia baca Fatihah tujuh kali ketika air mengalir disumbat maka fatihahnya moal aya dangiangna. Yang bagus adalah dialirkan Kalau sudah dialirkan maka tidak akan ada lagi cikungunya, demam berdarah dan malaria. Maka seluruh mengalir dan Allah itu menciptakan sesuatu itu dengan segala hayat, Hayat itu hidup Karna hidup tidak boleh ada yang diam. Hidup itu adalah perubahan Terus saja berubah itulah Islam, Islam harus bertransendensi dalam pelayanan negara.
Kalau ada jalan berlubang ditambal maka itulah ajaran islam. kalau ada bangunan belah diperbaiki itulah ajaran keislaman. Musim hujan nanam bunga musim hujan nanam pohon itu adalah keislaman. Jika pada musim kemarau nanam pohon itu bukan keislaman. Itu tandanya Anda tidak Mi Indung ka waktu Mi bapa ka jaman, anda tidak bisa membaca qada dan qadar, Anda tidak bisa memahami Allah dan hukumnya. Dan orang tua kita leluhur kita sudah merumuskan itu dari beberapa ribu tahun lamanya. Bagaimana bercocok tanam dan sejenisnya misalnya di kampung naga disini mah tidak ada pestisida, Disini hama dimakan lagi sama hama. Memang Allah sudah menciptakan seperti itu, ada hama dan predator pemakan hama. Predator pemakan hama harus diundang. Cara mengundangnya adalah dengan tetabuhan dengan ucapan-ucapan yang lembut dengan penataan lingkungan yang memadai dan tertata maka predator itu akan datang. Ketika lingkungannya sudah rusak predator na moal daek datang Predator teh mun ceuk urang mah utusan gusti nu tugasna ngadaharan hama. Ini harus dipahami Itu dikir namanya seperti inilah Negara harus hadir membangun dengan transendensi nilai Ilahiah. Dan terakhir saya sampaikan kalau republic ini mengamalkan seluruh nilai piranti kebudayaan yang didasarkan pada sendi-sendi alam, matahari, tanah, air, dan udara maka Negara ini akan menjelma menjadi Negara yang berkemakmuran tidak harus menunggu turunnya Ratu Adil.
Ratu adil itu turunnya gak usah ditungg-tunggu sambil berdiam diri. Tapi berbuat agar dia datang menjemput kalau Bulan Ramadhan maka kita ingin turun Lailatul Qadar bukan diem di masjid lalu ditungguin kapan lailatur qadar datang tapi kita berikhtiar membangun kebaikan-kebaikan hingga datangnya malam Lailatul qadar. Dinamis tidak statis yang statis itu mati. Patung itu kenapa diberhalakan? Karna statis, diam. Tetapi ketika itu dibuat didesain menjadi lebih indah, ada air mengalir, orang melihat, kemudian mobil berjalan menjadi pelan. Apa yang saya inginkan ketika membuat tiap sudut kota indah adalah mobil itu bisa berjalan pelan. Ketika pelan kecelakaan menurun. Kecelakaan itu terjadi pada daerah yang tidak menarik kanan kirinya.
Jadi ciptakan seluruh lingkungan itu menjadi nilai bertuhan jadi bertasbih. Maka semuanya kita menjadi bertasbih. Pemahaman bertasbih itu bukan hanya ucapan Subhanallah, air yang jatuh itu bertasbih Jangan diganggu dia, air sungai itu bertasbih. Ketika ibu membuang plastic ke sungai maka ibu melawan tasbihnya air maka nanti keluar bencana bagi kita. Ini lah prinsip membangun yang harus didorong hukum harus bergerak sehingga nanti lahir sebuah keberadaban bermasyarakat dan berbangsa.