DARI ANDALUSIA KE TASIKMALAYA: IJTIHAD UNTUK ESTAFET
PERADABAN
By: Dr. A. Arsyul Munir., Lc., M.A
“Di pundak generasi ini, dititipkan asa dan harapan masa depan. Sebab sejarah, selalu akan menunggu penulisan bab berikutnya, secara lebih cemerlang. Selamat mengarungi kehidupan baru, wahai para penjaga peradaban! Dunia menunggu kontribusi kalian.”
Hari ini, para lulusan Kampus Perjuangan IAI TASIKMALAYA akan berdiri sebagai pendulang ilmu yang telah menyelesaikan setengah dari pengembaraan intelektualnya. Tapi sesungguhnya, mereka adalah anak-anak yang terlahir dari sejarah yang penuh keluh, warisan kesah dari do’a-do’a yang tak terdengar namun terus bergema di langit. Sebuah pencapaian komunal yang dimiliki oleh mereka yang menahan lapar demi biaya, yang menyeka peluh saat menekuni teks-teks mati di malam-malam yang sunyi.
Teruntuk para ibu yang menahan rindu, ayah yang mengabdi dalam diam, dan saudara-saudara yang percaya tanpa ragu—tulisan ini dipersembahkan, maka terimalah salam takzim anak-anak kami yang menuai jalan kebersamaan itu, sekian lamanya. Ijazah mereka semata, barangkali sebatas dokumen legal. Untuk kata legitimasi akademis, tentu masih diperlukan. Kecuali itu, ia adalah simbol prasasti atas watermark perjuangan kolektif sebuah keluarga, suatu masyarakat, bahkan satu peradaban yang menginginkan masa depan lebih baik.
Menjadi sarjana, tentu bukan soal hasil akhir. Estafetanya masih akan berlanjut hingga menempuh suatu peristiwa yang tak akan usai dengan semata hafalan. Ada dunia lain yang lebih riil. Sehingga ilmu yang tersimpan dalam kepala tak akan memiliki rasionalitas komunikatif apapun, jika tidak mengakar dalam sikap dan laku nyata. Maka seberapa banyak teks keilmuan yang telah ditelaah, hakikatnya adalah lembaran peradaban yang kini terbuka lebar untuk dikontekstualisasikan. Ketika wisuda ditandai dengan pakaian toga dan penyerahan sehelai kertas, maka bawa serta pula, jejak intelektual Islam yang membentang dari gurun Hijaz hingga lorong-lorong perpustakaan Andalusia, dari masjid Nabawi, universitas Baghdad yang pernah menjadi mercusuar peradaban dunia hingga ke IAI TASIKMALAYA.
Tradisi keilmuan Islam telah membangun fondasi epistemologis yang unik;memadukan wahyu (naql) dengan akal (‘aql), menggabungkan dimensi normatif dengan realitas empiris. Para ulama klasik seperti Al-Ghazali, Ar-Razi, dan Asy-Syatibi telah menunjukkan bagaimana metodologi studi Islam mampu beradaptasi dengan berbagai konteks tanpa kehilangan esensinya. Semua warisan itu mengajarkan satu hal; bahwa ijtihad bukan sekadar alat teknis berwacana, tetapi lebih berupa manifestasi dari dinamisme Islam sebagai agama yang rahmatan lil âlamîn. Dalam kerangka demikian, tradisi pendidikan seperti itu sejatinya tak boleh diberhentikan pada hanya ruang kelas yang ambigu, tetapi harus ditemukan elan vitalnya saat bersinggungan dengan rumitnya kehidupan yang disruptif.
Satu sisi, perjalanan sejarah masa lalu itu adalah cermin yang memperlihatkan bahwa values of sharia dapat menjadi alat kekuasaan penebar kasih. Terbukti, di tangan para imam besar itulah, syari’ah yang katanya “usang “ mampu meretas ruang dialog kebangsaan yang tak saja hangat, namun mengakrabkan. Coba perhatikan,bagaimana Abu Hanifah menolak jabatan qâdhi karena memahami bahwa kebenaran tak selalu hadir dalam bentuk formalitas. Pandang pula, bagaimana Fatima al-Fihri,seorang perempuan visioner mampu mendirikan universitas bergengsi bukan karena popularitas, melainkan karena adanya believe bahwa ilmu adalah investasi ibadah berjangka panjang. Atau, satu lagi, tengoklah Ibn Rushd (Averroes), sang perekat Timur-Barat, bagaimana ia merekayasa filsafat dan syari’ah hingga menjadi sesuatu yang tak perlu dipisahkan.
Dalam konteks itulah, kita menemukan sosok-sosok lain semacam Ibn Sina yang memadukan kedokteran dengan filsafat, Al-Kindi yang mengintegrasikan matematika dengan teologi, dan Ibn Khaldun yang meletakkan fondasi sosiologi modern melalui perspektif Islam. Mereka kompak, menunjukkan bahwa tradisi keilmuan Islam tidak pernah terjebak dalam dikotomi yang memisahkan ilmu agama dari ilmu umum. Sebaliknya, mereka membangun sintesa epistemologis yang memungkinkan Islam untuk terus relevan di setiap zaman (shâlih li kulli zamân wa makân).
Warisan historis di atas, setidaknya mengajarkan bahwa Islam tak pernah kaku, lalu terbujur di tangan para pencari kebenaran. Mazhab-mazhab, yang saling bersahutan,lahir karena suburnya ruang ijtihad. Itulah produktifitas. Ada semangat untuk memahami relatifitas, sambil tetap berpijak pada realitas yang tandem dengan segudang prinsip fundamental. Itulah mengapa para lulusan kampus ini, IAI TASIKMALAYA, tak boleh sekadar puas menjadi pengulang pendapat ulama klasik,sebab dunia saat ini terus bergulir menuju perubahan yang revolusioner: penuh teknologi disruptif, sesak dengan kegelisahan eksistensial, dan gaduh oleh peluang yang belum terjamah sebelumnya.
Sederhananya, era globalisasi kali ini menghadirkan tantangan yang sangat multidimensional. Kita sekarang, hidup di zaman dimana keadilan menjadi komoditas langka. Orang mengalami kelaparan bukan oleh sebab kekurangan produksi pangan an sich, tetapi lebih terdampak karena sistem distribusi yang timpang dan eksploitatif. Hukum, di sisi lain, seolah terkoyak; banyak dihadirkan melalu layar media sosial, namun jarang terasa presisif di jalanan. Para sarjana kami,karenanya, harus berani mengambil posisi yang jelas: kalian harus nekad untuk menjadi solusi konstruktif berbasis nilai-nilai universal (baca: Islam). Maka syari’ah sebagai sistem nilai, perlu diterjemahkan untuk merespons hal tersebut dengan tetap kembali pada akar ontologisnya yang bermuara pada prinsip keadilan (‘adl),kemaslahatan (mashlahah), dan prinsip menghindari kerusakan (lâ dharar wa lâ dhirâr).
Peran strategis para lulusan adalah menjadi jembatan antara masa lalu, kini dan masa depan, antara teks sakral dengan dunia yang profan. Indonesia ini ibarat kata, sebuah laboratorium sosial yang tak tertandingi. Ratusan etnis, puluhan agama, ribuan budaya—semuanya, berdampingan dalam keberagaman. Barangkali nilainya, bisa memperkaya atau merapuhkan. Itu tergantu para alumni.
Maka jangan pernah meremehkan peran strategis para alumni, sebagai kaum intelektual organik muslim Indonesia. Orientasi kita tak boleh menjadi sekadar pengisi lowongan kerja dalam birokrasi pemerintahan maupun swasta. Sebab kita adalah pembawa pesan peradaban dan penerus misi kenabian. Lihatlah, sekali lagi,bagaimana Quraish Shihab membumikan tafsir Al-Quran dengan pendekatan hermeneutis yang santun dan kontekstual, bagaimana Abdolkarim Soroush menyuarakan demokrasi dalam kerangka nalar iman, bagaimana Amina Wadud membuka ruang kesetaraan gender tanpa membuang kedalaman tekstual. Patutlah kita pun hidup serupa dalam ruang akademis yang steril, tanpa intervensi, lalu berfikir secara merdeka dalam pergumulan nyata demi mengentaskan problematika umat.
Satu hal pasti, bahwa masa depan hari ini sedang bergerak menuju ketidakpastian;respons intelektual yang sophisticated, pseudo-science yang mulai menyusup ke ranah moralitas, pengambilan kebijakan yang cacat hukum, krisis lingkungan yang menguji solidaritas glocal, dan digitalisasi data yang membanjiri kepala manusia. Semua itu,sayangnya nyaris terisi tanpa jiwa spiritualitas yang kaya. Dampaknya vulgar. Coba telisik ke dalam, apakah kita, sebagai alumnus kampus IAI TASIKMALAYA, sudah siap memberikan jawaban canggih ketika fiqh lingkungan (fiqh al-bî’ah) dibutuhkan untuk menyelamatkan sungai dan hutan Indonesia? Apakah juga mampu berbicara atas nama Islam, saat dunia internasional mulai meragukan religious ethics dalam menghadapi revolusi teknologi? Jika jawabnya negatif, maka perjalanan keilmuan ini,tentus saja masih harus dilanjutkan hingga akhir hayat menjumput.
Kontestasi dalam bayang ekonomi global, Islamic fintech, dan lain seterusnya, jelasnya menanti arsitek-arsitek visioner yang berani memadukan prinsip syari’ah dengan algoritma technology. Dunia diplomasi Islam, di satu sisi, membutuhkan duta-duta intelektual yang tidak saja pandai berbicara, tapi fasih dalam narasi berbelas kasih membangun jembatan antarperadaban.
Namun semua capaian futuristik tadi dimungkinkan, hanya jika para alumni kampus IAIT ini, menjadikan integritas sebagai batu fondasi dalam membangun karirnya. Maka selayaknya, jangan pernah menggadaikan harga diri untuk cuan besar jangka pendek. Belajarlah dari teladan Umar bin Abdul Aziz, yang mengembalikan seluruh harta negara yang pernah digunakan keluarga, sekalipun berhak. Dunia modern mungkin tidak memiliki ancaman pedang, tetapi godaan pragmatismenya luar biasa. Jadi tolaklah, kenyamanan apapun yang merusak integritas. Ambillah, ketegasan yang memaslahatkan. Sebab keadilan, bukan perkara retorika belaka, melainkan praktik konkret yang dimulai dari keputusan kecil dalam keseharian: apakah seseorang akan memihak si lemah, meski tak begitu menguntungkan secara politis?Atau, apakah kami akan berpihak pada suara kebenaran di tengah kesunyian,sekalipun dunia majority berteriak ke arah sebaliknya? Et cetera.
Maka mulai detik ini, hendaknya para alumni kami membuatkan tiga janji fundamental: Pertama, janji pada ilmu, bahwa mereka tak akan pernah berhenti belajar sampai pergi ke liang lahat. Kedua, janji pada kebenaran, bahwa mereka akan tetap membela yang haq sekalipun harus berdiri sendirian. Dan ketiga, janji pada umat, bahwa hidup mereka akan diabdikan sepenuhnya untuk kemaslahatan agama, bangsa dan negara.
Sebagai luapan terakhir, do’a kami selalu mengiringi perjalanan kalian, wahai para punggawa peradaban (!); semoga setiap pengetahuan yang telah diperoleh menjadi cahaya yang bermanfaat di dunia dan akhirat. Dan jadikanlah mereka wahai rabb-ku,generasi yang mampu membaca tanda-tanda zaman dengan cerdas, tanpa kehilangan keimanan, spiritualitas dan amal saleh. Amein YRA.
Demikian. Wallâhu ‘Alam bis Shawâb.



