Search
Close this search box.

Diposting oleh:

Menggema di Jalan Sufi

MENGGEMA DI JALAN SUFI

Sebuah Catatan Reflektif – Pemikiran dan Pergerakan  Bekti B. Zaenudin.

Oleh : Danial Kusumah

 

     Self maturity (kematangan diri) adalah suatu keseimbangan otonom dimensi fisiologis, psikologis dan pedagogis sebagai hasil dari tumbuh kembang diri. Dengan menggunakan analogi product life cycle, kematangan diri merupakan puncak kemapanan intelektual, emosional, dan spiritual. Kemapanan intelektual adalah menemukan kesadaran murni dengan menyisihkan kesadaran empiris sehingga bebas dari ketergantungan relasi dengan fenomena lainnya. Kemapanan emosional diartikan sebagai kemampuan sesorang untuk menerima, mengelola, serta mengontrol emosi seseorang dengan orang lain disekitarnya (Dwi Sunar, 2010). Sedangkan kemapanan spiritual merupakan keandalan dalam memahami serta membaca nilai dan makna sebuah kejadian. Lebih jauh lagi menggeser paradigma eksistensi menjadi kontribusi.

     Tidak berlebihan sepertinya, apabila penulis menganalisis posisi Kang Bekti (panggilan hormat penulis) saat ini sedang berada pada fase kematangan (dewasa) dalam siklus hidup manusia. Maslow menyebutnya tahap aktualisasi diri, yaitu proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat serta potensi psikologis yang unik (Arianto, 2009). Pandangan ini tentunya harus diobjektifikasi berbasis pengalaman empiris agar tulisan ini tidak hanya bersifat tafsir individual, akan tetapi mampu memberikan gambaran dan makna universal.

 

SANG INTEGRATOR

     Secara genealogis, Kang Bekti tumbuh di lingkungan organisasi Persatuan Islam (Persis). Ayahanda Kang Bekti merupakan inisiator pembentukan jamaah Persis di Cibatur – Mangkubumi. Meneruskan jejak langkah ayahanda, Kang Bekti merintis pendirian Madrasah Ibtidaiyah (MI) Persis, Raudhatul Athfal dan Koperasi yang terletak di Gandok – Bungursari tempat beliau berdomisili. Meskipun Persis -yang cenderung puritan- menjadi landasan falsafah dalam gerak personal, secara sosial sikap dan pikiran Kang Bekti sangat terbuka tapi tidak permisif. Beliau memandang perbedaan sebagai kekayaan intelektual, rumah kontemplasi, dan tentunya rahmatan lil’alamin. Dalam laboratorium kearifannya, unsur-unsur distingtif bersenyawa menjadi keunggulan kompetitif, beda individual berubah menjadi kesepahaman komunal.

     Keterbukaan Kang Bekti ditunjukkan pada gaya kepemimpinan beliau di STAI Tasikmalaya yang secara kultural dihuni oleh berbagai ormas keagamaan islam. Ia membuka lebar ruang ekspresi dalam aktualisasi kesalehan normatif (ibadah ritual) dan menjadi dinamisator diskursus publik dalam muamalah. Menjaga kebebasan beribadah dengan sabuk toleransi, merawat “perdebatan” dalam bingkai ilmiah. Melalui sebaran frekuensi egaliteriannya, beliau mampu menurunkan ego sektoral dan meningkatkan kohesivitas.

     Secara ideologis, Kang bekti lahir dari rahim Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Organisasi ini memiliki andil besar dalam perjalanan intelektual, emosional, dan spiritualnya. Rekam jejaknya di HMI tidak perlu dipertanyakan lagi. Stigma “Bekti adalah HMI” merupakan konsekuensi logis dari masifnya gerakan beliau dalam membangun jejaring dan menebar kontribusi secara horizontal (daerah) maupun vertikal (wilayah/nasional). Di HMI, Kang Bekti termasuk dalam golongan pemikir juga pejuang. Sebagai pemikir, ia konsisten mewarnai dialektika keilmuan di internal HMI, organisasi keagamaan, maupun pemerintahan. Kuatnya pengaruh beliau didukung oleh profesinya selaku akademisi yang memiliki kapasitas berpikir secara logis dan sistematis. Sebagai pejuang, militansi beliau terejawantahkan dalam berbagai gerakan fundamentalis politik, sosial, hingga budaya, di Tasikmalaya khususnya.

     Label HMI yang tersemat pada Kang Bekti, tidak menjadi sekat dalam hubungan sosialnya. Pada saat memangku amanah selaku Wakil Ketua III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni, beliau berhasil mengawal lahir dan hidupnya Peraturan Organisasi Kemahasiswaan (POK). Regulasi ini  merupakan pemersatu ide dan gagasan yang sempat mengalami fragmentasi akibat persepsi tendensius -hegemoni- HMI di STAI Tasikmalaya. Sejarah tak dapat dipungkiri, bahwa STAI Tasikmalaya didirikan oleh Yayasan Pendidikan Islam Tasikmalaya (YAPITA) yang merupakan konsorsium dengan mayoritas anggota dari Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Indonesia (KAHMI). Namun dalam konteks tata kelola, terutama dekade 2010-2020, manajemen lembaga dijalankan secara profesional. Tidak ada dikotomi antar organisasi ekstra yang ikut hidup dalam dinamika internal kampus. Dosen, pejabat struktural, tenaga kependidikan, dan karyawan berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda. Baik latar belakang pendidikan (almamater), organisasi, maupun masyarakat umum. Secara profesional maupun kultural, Kang Bekti menjalin silaturahmi dengan baik terhadap seluruh stakeholder tanpa pretensi apapun, selain atas dasar profesionalisme dan simbiosis mutualisme, sehingga beliau diterima oleh semua kalangan. Pada akhirnya, hal tersebut berbuah kemudahan komunikasi publik yang mendorong efektivitas pencapaian visi dan misi lembaga.

     Pada kurun waktu tersebut, STAI Tasikmalaya mengalami konflik antara organisasi kemahasiwaan (ormawa) ekstra kampus yang bersemayam dalam ormawa intra kampus. Konstelasi pemilihan Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) hampir selalu diwarnai silang pendapat yang cukup panas di tataran strategis maupun teknis. Dengan kemampuan manajemen konfliknya, Kang Bekti secara bijak menempatkan diri sebagai orang tua ideologis dengan segala atribut ke-bapak-annya mampu menengahi dan mengakomodir semua aspirasi, serta mengakhiri pertikaian dengan kondusif dan damai. Singkatnya, Kang Bekti adalah integrator, pemecah gelombang!

 

INTERNALISASI FALSAFAH SUNDA

     Primordialisme -dalam konotasi positif- menjadi isu publik yang kencang dikumandangkan akhir-akhir ini. Narasi besarnya mengembalikan jati diri atas pergeseran berlebih suatu proses akulturasi ke asimilasi, dari konvergensi ke divergensi. Mengembalikan makna kearifan lokal (local wisdom) yang terdapat dalam komunitas masyarakatnya, yang muncul dalam tradisi lisan maupun tulisan sebagai suatu kepribadian menjadi identitas kultural masyarakat berbentuk nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat dan aturan khusus yang teruji kemampuannya menjadikan kebiasaan, sehingga dapat bertahan terus-menerus (Sartini, 2019)

     Kang Bekti merupakan salah satu pegiat budaya Sunda. Subtansi yang terkandung dalam kearifan lokal budaya Sunda dalam pandangan beliau merupakan sebuah nilai moral kebaikan sebagai suatu keunggulan budaya mengungkap pikiran, perasaan, dan pengetahuan yang mengandung kebijaksanaan (wisdom). Ia tidak terjebak dalam arus utama yang cenderung simbolik dan atributif. Dikala orang lain memakai pangsi dan melakukan ziarah ke tempat yang memiliki kelindan dengan legacy kesundaan, Kang Bekti lebih memilih untuk membumikan bahasa Sunda dalam komunikasi sosial, baik secara verbal maupun non-verbal, dikala penggunaan bahasa indung sudah mulai tenggelam dalam pusaran budaya metropolis. Ia juga mendayagunakan “otoritasnya” untuk memperluas agenda literasi budaya komunitas ke dalam kurikulum akademik. Beliau adalah salah satu orang yang bersikukuh mempertahankan mata kuliah Budaya Sunda sebagai mata kuliah wajib institusional di STAI Tasikmalaya. Manifestasi kecintaannya terhadap Sunda tidak sesederhana hanya pada dimensi bahasa (lisan) dan manuskrip (tulisan/naskah). Misi besar beliau adalah menginternalisasikan nilai-nilai moral kebaikan budaya sunda ke dalam kontruksi perilaku organ dan orang.

     Dalam praksis keorganisasian di STAI Tasikmalaya, Kang Bekti mengaplikasikan falsafah Sunda, yaitu silas, merupakan akronim dari silih asih, silih asah, dan silih asuh. Makna konsep silas dalam perspektif hermeneutik, memiliki keterkaitan dengan makna yang terkandung dalam kata pembentuknya, berupa kata silih dan kata asih, asah, asuh yang menjadi esensi kandungan nilainya. Kata silih berarti saling, mengandung makna nilai transformasi yang bersifat resiprokal dan saling memberikan respon dengan penuh kesantunan. Kata asih berarti cinta, mengandung makna nilai ontologis bahwa keberadaan ‘asih’ berasal dari Tuhan Yang Maha Pengasih (Qur’an, 55: 1,3), sehingga nilai asih menjadi landasan kehidupan dalam membangun keharmonisan hidup manusia. Kata asah berarti menajamkan, mengandung makna nilai epistemologi bahwa kemampuan mengasah akal, rasa, dan karsa dalam diri manusia akan menghasilkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan dalam kehidupannya. Kata asuh berarti membimbing, mengandung makna nilai aksiologi bahwa dalam membangun hubungan silaturahmi didasari atas saling menghargai kewajiban dan hak asasi manusia berlandaskan pada nilai-nilai keharmonisan dalam membangun kualitas kemanusiaan (Firdaus, 2013). Orientasi nilai yang terkandung dalam makna silas pada hakikatnya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam kehidupan sosialnya, sehingga dapat dijadikan metode pemberdayaan manusia dalam kehidupan masyarakat sebagai landasan pendidikan masyarakat, baik pendidikan keluarga, pendidikan formal dan non-formal maupun pendidikan di lingkungan masyarakat.

     Implementasi silas dalam sistem kelembagaan diadumaniskan oleh Kang Bekti dengan gaya kepemimpinan transformasional profetik. Dalam interaksi sosial, beliau lebih mendepankan adab daripada ilmu, sehingga komunikan merasa diayomi dan lebih percaya diri untuk berkomunikasi secara aktif. Proses ini dimaknai tahap penyadaran. Beliau sering membuka forum diskusi non-formal yang secara tidak langsung mengasah pisau analisis lawan. Sehingga ruangannya tidak pernah sepi oleh relasi, bahkan hanya untuk sekadar basa basi. Budaya diskusi itu tidak hanya dalam kerangka memenuhi kewajiban moral sebagai pimpinan di tempat kerja, rumahnya pun disulap menjadi pasar perdebatan rasional hampir tiap harinya. Proses ini dimaknai tahap pengkapasitasan. Dalam hubungan interpersonal maupun organisasional, Kang Bekti berperan sebagai mentor. Membimbing ilmu dan perilaku, menjembatani ekspektasi dan realitas, serta mendorong pengembangan diri civitas akademik, kader, hingga kawan seperjuangan. Proses ini dimaknai tahap pendayaan. Maka secara holistik, Kang Bekti telah mengaktualisasikan nilai-nilai dasar pendidikan, yaitu membangun kesadaran, meningkatkan kapasitas, dan memberdayakan.

 

MEMILIH JALAN SUNYI

     Menelaah jalan panjang pemikiran dan perjuangan yang dilalui Kang Bekti diatas, pada kondisi tersebut seharusnya beliau mulai menuai hasil olah pikir dan peras keringatnya. Layaknya manusia pada umumnya, selain ketiga indikator yang telah dipaparkan diawal, fase kematangan biasanya diikuti oleh dimensi pragmatisme, yaitu kemapanan finansial. Hal itu dapat diperoleh dengan cara “mencolek” jaringan yang telah dibangun, menawarkan konsep berbayar, melakukan transaksi politik. Namun Kang Bekti memilih “bertapa” di kampus, mewakafkan diri untuk pengembangan STAI Tasikmalaya. Sungguh pilihan yang sangat kontradiktif. Sebagai bentuk apresiasi, penulis berasumsi bahwa pilihan itu merupakan keputusan transendental. Ia menempuh jalan sunyi, bak seorang sufi. Alih-alih membangun kedigdayaan, Kang Bekti memilih jalur asketis (zuhud). Keunikan tersebut makin nampak ketika beliau mengambil (lagi) kuliah pascasarjana program magister untuk jurusan tasawuf saat ia sedang berjibaku menyelesaikan kuliah doktoralnya.

    Akan tetapi, tidak seperti sufisme klasik yang meninggalkan hiruk pikuk duniawi untuk memperkuat romansa dengan Ilahi. Kang Bekti memilih jalan kontemporer. Ia mengelaborasi konsep kemanusiaan berdasarkan realitas sosial, yang diyakininya terdapat nilai-nilai transendental Tuhan di dalamnya. Sifat Tuhan tentang rahman (pengasih) dan rahim (penyayang) harus hadir dalam individu dan hidup dalam dinamika sosial. Derivasi jalan sufi Kang Bekti adalah akhlak universal, sosial humanistik, multikulturalisme, pluralitas, ketenangan lahir dan batin. Kang Bekti berada pada kondisi psikofisiologis dimana individu mengalami kepasifan yang aktif dan diam yang kreatif.

 

Allohummaghfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fu’anhu

Bagja di kalanggengan

 

Tasikmalaya, 14 Juni 2021

 

*Tulisan ini dibuat dalam rangka penyusunan buku antologi-biografi almarhum Bekti B. Zaenudin.

 

Repository

Repository

Repository IAI Tasikmalaya

LPMP

LPMP

Lembaga Penjaminan Mutu dan Perencanan

LPPM

LPPM

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat

P2B

P2B

Unit Penunjang Pengembangan Bahasa

PTI

PTI

Unit Penunjang Teknologi Informatika